Pentingnya memiliki keterbukaan diri bagi tunanetra
Keterbukaan diri atau self disclosure adalah proses memberi kesempatan kepada pihak lain untuk mengetahui cara kita berpikir, perasaan kita, hingga keinginan kita terhadap suatu hal atau suatu permasalahan yang tengah terjadi. Keterbukaan diri juga erat kaitannya dengan sifat setiap orang yang berbeda satu dengan yang lain. Ada yang memiliki sifat terbuka kepada orang lain, ada pula yang lebih cenderung bersikap tertutup bahkan kepada sahabat atau keluarga. Hal ini dipengaruhi oleh budaya, suku serta keyakinan dan prinsip kehidupan yang dianut oleh masing-masing orang.
Memiliki keterbukaan diri sangatlah penting dalam menjalani kehidupan kita sehari-hari. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa berinteraksi dengan sesamanya. Seseorang yang memiliki keterbukaan diri akan sangat mudah bergaul dan memperoleh banyak manfaat yang positif ketimbang orang yang jauh lebih tertutup. Orang yang terbuka untuk menjalin interaksi dengan orang lain juga akan lebih mudah dalam membangun karier karena mereka tidak segan untuk membuka diri seluas-luasnya, sehingga orang lain akan lebih mudah memahami jalan pikiran serta maksut dan tujuan dari setiap gagasan atau rencana kerja yang tengah dibicarakan. Selanjutnya keterbukaan dalam interaksi sosial ekonomi tersebut akan melahirkan sebuah kerjasama atau upaya berkelanjutan yang apik dan pastinya mendatangkan keuntungan bagi kedua belah pihak.
Keterbukaan diri juga perlu dimiliki oleh para tunanetra untuk dapat mewujudkan tatanan masyarakat yang inklusif dan setara. Para tunanetra perlu membuka diri seluas-luasnya kepada orang-orang di sekitar mereka yang notabene adalah orang-orang awas yang sudah pasti terus berinteraksi dengan mereka sehari-hari.
Hal ini tidaklah mudah. Mengingat faktor hambatan aksesibilitas dan interaksi yang dialami oleh para tunanetra menjadi salah satu penyebab sulitnya sebagian dari mereka untuk terbuka dengan lingkungan serta orang-orang di sekitar. Mereka lebih merasa nyaman dan memilih tetap di dalam dunia mereka sendiri ketimbang melakukan interaksi secara aktif dan terbuka dengan masyarakat. Selain itu kebanyakan orang juga mengalami ketidak tahuan bagaimana cara berinteraksi yang efektif dengan para tunanetra. Minimnya informasi tentang ketunanetraan serta kurangnya sosialisasi dari pihak-pihak terkait semakin menambah kurangnya disability awareness atau penyadaran masyarakat terhadap para tunanetra yang berada di sekitar mereka. Hingga tak terasa menjadikan jurang pemisah antara para tunanetra dan masyarakat menjadi semakin lebar.
Pengalaman Penulis
Seperti yang sering kali penulis alami saat menggunakan jasa transportasi online, baik mobil atau sepeda motor. Penulis yang juga seorang tunanetra kerap kali dianggap sebagai orang awas oleh para driver transportasi online tersebut. Penulis yang aktif di luar rumah memang cukup mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat sehingga memiliki gestur dan prilaku yang tidak jauh berbeda dengan kebanyakan orang. Penulis juga membekali diri dengan ilmu orientasi dan mobilitas yang cukup untuk dapat berkegiatan secara mandiri baik di dalam maupun luar ruangan. Kendati demikian, tongkat putih atau whitecane yang selalu dibawa penulis sebagai penanda dan alat pemandu berjalan tak juga dapat dikenali oleh kebanyakan orang, termasuk para driver transportasi online yang baru pertama kali penulis jumpai.
Tidak hanya itu, persoalan lain muncul saat penulis pergi ke sebuah toko untuk membeli sesuatu atau ke suatu tempat tertentu untuk mengurus keperluan penting. Kebanyakan dari pegawai toko atau tempat-tempat tertentu yang penulis jumpai merasa canggung saat berinteraksi dengan penulis yang seorang tunanetra. Mereka tak segera menjawab sapaan penulis untuk membeli sesuatu seperti *** “Permisi mbak/mas”, *** “Saya mau beli …”, *** “Saya perlu berjumpa dengan ….”, *** dan sebagainya. baru Beberapa saat setelah itu mereka baru menjawab atau memberi respon dan lagi-lagi tongkat putih sebagai pemandu nampaknya tak mampu meyakinkan mereka bahwa penulis adalah seseorang dengan hambatan pengelihatan atau tunanetra.
Solusi dan Pencapaian
Beberapa hal di atas adalah sebagian kecil dari pengalaman penulis terkait dengan hambatan aksesibilitas yang terjadi di lingkungan masyarakat sekitar. Hal ini tidak serta merta menjadi alasan bahwa masyarakat tidak peduli terhadap kondisi penulis yang adalah seorang tunanetra. Masyarakat pada umumnya peduli dan memberikan perhatian khusus kepada para penyandang disabilitas, hanya terkadang tak tahu bagaimana cara yang efektif untuk mewujudkan kepedulian tersebut ke dalam sebuah tindakan. Mereka akan berusaha untuk menjaga perasaan para penyandang disabilitas saat akan berinteraksi dengan mereka, tak terkecuali para tunanetra. Mereka akann sangat berhati-hati saat ingin berbicara atau menyentuh para tunanetra untuk sekedar memulai pembicaraan atau menjawab pertanyaan yang ditujukan kepada mereka oleh para tunanetra. Dalam suatu kasus terkadang masyarakat cenderung diam dan memilih menghindari berinteraksi secara langsung dengan tunanetra dengan alasan yang beragam, seperti takut menyinggung perasaan atau tak tahu harus berbuat dan berkata apa.
Untuk dapat mengatasi persoalan tersebut perlu adanya prinsip keterbukaan diri. Kesalah pahaman yang sering kali muncul di antara para tunanetra dan masyarakat sekitar banyak disebabkan oleh masalah hambatan komunikasi atau miskomunikasi. Dengan adanya keterbukaan diri yang terlebih dahulu ditunjukkan oleh para tunanetra tentang hambatan aksesibilitas yang tengah mereka alami serta segala kebutuhan, hak, serta kewajiban mereka akan mampu mendorong masyarakat di sekitar mereka untuk lebih terbuka dan memberikan respon positif terhadap segala kebutuhan mereka. Dengan adanya keterbukaan diri dari kedua belah pihak akan terjalin interaksi yang hangat dan menyenangkan satu sama lain, tanpa ada batasan kedisabilitasan atau hambatan-hambatan sosial lainnya.
Seperti pada pengalaman penulis saat menghadapi beberapa persoalan yang sudah dijelaskan di atas. Penulis lebih memilih untuk memberi penjelasan secara rinci dan perlahan kepada setiap driver transportasi online tentang tongkat putih atau whitecane sebagai alat pemandu berjalan bagi tunanetra dan sekaligus penanda bahwa yang sedang membawa tongkat putih tersebut adalah seorang tunanetra. Walaupun harus ada ketekunan dan kesabaran untuk dapat melakukan tindakan edukatif tersebut. Semisal seribu kali penulis berjumpa dengan driver transportasi online yang baru, maka seribu kali pula penulis perlu menyampaikan hal yang sama berulang kali.
Selain itu penulis juga menerangkan bahwa saat ini telah dibuat teknologi yang dapat membantu aktifitas tunanetra sehari-hari secara mandiri. Salah satunya adalah aplikasi pembaca layar atau screen reader yang dapat dipasang pada ponsel android yang memungkinkan seorang tunanetra seperti penulis untuk memesan layanan transportasi online secara mandiri. Hal itu mampu meyakinkan para driver transportasi online tersebut dan pada akhirnya mereka memberikan apresiasi setinggi-tingginya bagi para tunanetra yang terus berusaha dan berjuang untuk dapat lebih mandiri dan berdaya guna.
Berikut ini adalah video tunanetra yang sedang menggunakan ponsel bicara :
Di dalam dunia kerja juga sangan diperlukan prinsip keterbukaan diri. Dengan keterbukaan diri maka para tunanetra akan semakin mudah berinteraksi dengan orang-orang awas yang berada di tempat mereka bekerja tanpa hambatan yang berarti. Orang-orang awas yang menjadi rekan kerja atau pimpinan merekapun juga akan lebih terbuka tentang pemenuhan kebutuhan aksesibilitas dan mobilitas mereka dalam bekerja. Maka secara otomatis akan terjalin suatu kolaborasi yang apik di antara kedua belah pihak untuk sama-sama saling produktif di dalam bekerja, tanpa ada lagi sekat pemisah yang selama ini menjadi momok yang menakutkan bagi para tunanetra. Salah satunya adalah stikmatisasi bahwa tunanetra tak bisa berbuat apa-apa selain mengemis atau meminta-minta kepada orang awas yang mereka jumpai.
Di dalam dunia kerja yang membutuhkan kecepatan, ketepatan, serta profesionalisme yang tinggi menjadi tantangan tersendiri bagi penulis. Dalam kegiatan kerja sehari-hari dan interaksi penulis dengan para klien terkadang terjadi beberapa permasalahan terkait dengan hambatan pengelihatan dan pemahaman orang lain terhadap diri penulis yang seorang tunanetra. Tetapi penulis dapat mengatasi permasalahan yang lebih banyak menyangkut hal-hal teknis tersebut dengan baik.
Penulis selalu berusaha tenang, konsentrasi,dan berusaha memiliki pikiran yang positif dalam mencari solusi dari setiap persoalan di dunia kerja. Penulis akan berusaha menyelesaikan setiap tugas-tugas yang telah disepakati dengan para klien dengan sebaik-baiknya. Penulis juga terus mencari cara untuk dapat mengatasi persoalan terkait dengan hambatan pengelihatan yang penulis alami.
Penulis menggunakan komputer bicara sebagai sarana penunjang seluruh aktifitas penulis di dalam dunia kerja, seperti menyusun dokumen kerja, perencanaan dan kerjasama, laporan keuangan, analisa pasar, dan sebagainya. Penulis juga selalu mengupgrade setiap materi mengajar sebagai seorang instruktur musik menggunakan teknologi yang aksesibel dengan tunanetra tersebut. Dan pada akhirnya penulis dapat bekerja tanpa adanya kendala yang berarti.
Berikut ini adalah video seorang tunanetra menggunakan komputer bicara :
Kesimpulan
Dengan prinsip keterbukaan diri yang dimiliki oleh para tunanetra untuk belajar dan mencari solusi dari setiap persoalan yang muncul terkait dengan hambatan pengelihatan yang mereka miliki akan membuat mereka menjadi orang-orang yang kuat dan mandiri. Dengan kemandirian dari para tunanetra tersebut akan mampu meningkatkan interaksi sosial dan ekonomi dengan orang-orang awas yang berada di sekitar mereka sehari-hari.
Pada akhirnya kesempatan demi kesempatan akan diberikan bagi para tunanetra untuk dapat terlibat lebih aktif dalam setiap interaksi sosial masyarakat, baik dalam proses belajar mengajar serta di dalam dunia kerja. Mereka akan memiliki banyak peluang di masa mendatang untuk meningkatkan karier mereka di berbagai bidang secara inklusif dan berkualitas. Dengan demikian akan tercipta kehidupan masyarakat yang setara dan menjunjung tinggi penghargaan bagi para tunanetra.
Penulis : Adi Gunawan.